HK is for Hadi Kuncoro
- Hadi Kuncoro
- A Friend, Husband & Father! Time is always change and so does the world! House of Changes by HK is there to partner with you to share, brainstorm and dreams. We build a new pardigm for a better life and society. I do invite you to encourage ourself to lead the changes! Hadi Kuncoro
Monday, May 02, 2005
HARDIK-Nas
"Hey Kamu, Mana PR-nya ?"
"Bodoh Kamu !!! begitu saja tidak bisa"
"Sana Bekerja !!!"
Eits, bukan itu maksud dari HARDIK-Nas di atas, tapi bahwa hari ini, sekarang adalah tanggal 2 Mei bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional dari Bangsa kita tercinta Republik Indonesia.
"Kalo di atas itu Menghardik ya anak-anak". Begitu Bu Guru Titin menjelaskan.
Dulu pada masa sekolah kita, menjelang hari besar ini kita disibukan dengan acara PORSENI, lomba cerdas cermat, olahraga dan lain-lain.
Namun sekarang seperti Hari-Hari besar lainnya, seolah jiwa dan semangat untuk perayaan cinta tanah air tidaklah semeriah masa-masa sebelumnya. Bahkan ketika pada Hari proklamasi Bangsa kita ini sekalipun pada setiap tanggal 17 Agustus.
Pagi ini acara sebuah radio menyiarkan cerita tentang bagaimana pahitnya seorang anak jalanan yang ditinggal oleh ayahnya masuk penjara dan sang ibu pergi untuk menikah lagi, dalam menempuh pendidikan dasarnya. Dia si "Yanto", selepas sekolah di sebuah SMP negeri haruslah menjalankan profesi sebagai pengamen jalanan demi untuk menafkahi hidupnya dan juga membiayai sekolahnya.
Bukan ! Bukan ! Bukan !
Bukan kepahitan itu yang akan saya bicarakan tapi response dari para pendengar yang kemudian yang akan saya angkat sebagai issue. Beberapa telepon masuk sebagai response dari rasa toleransi masyarakat kita terhadap masalah ini ;
Pak Andi menawarkan diri untuk membiayai pendidikan si Yanto hingga SMA
Bu Lusi menawarkan untuk menjadi orang tua asuh untuk pendidikan si Yanto
Pak Gandhi menwarkan Yanto untuk menjadi anak angkat
Pak Yusuf bahkan menawarkan untuk mengadopsi Yanto.
Seolah semua orang serta-merta menunjukan ibanya dan rasa prihatinnya. Begitu mudah bangsa ini tersentuh hatinya untuk rasa perih dan duka yang melanda.
Sementara dalam waktu bersamaan, 2 orang cukup usia (sudah tua malahan) sedang saling menghardik satu dengan yang lain, hanya karena satu orang si penyebrang jalan merasa sebagai kaum lemah harusnya mendapatkan prioritas dalam menyebrang jalan ketimbang membiarkan pengendara mobil yang lewat, walaupun sipenyebrang tahu dia melakukan kesalahan dengan menyebrang tidak pada tempatnya seperti di zebra cross (ini artinya bukan tempat menyebran kuda zebra loh?) atau jembatan penyebrangan. Sementara si Pengemudi mobil menghardik balik dengan kerasnya karena menganggap bodoh si penyebrang melintas jalan di jalur cepat Kuningan.
Saya hanya bisa tertegun, dan bertanya dalam hati mengapa bangsa ini begitu mudah menunjukan rasa terharu dan juga sebaliknya mudah dalam melakukan agresi emosional terhadap satu dengan yang lain ?
Padahal kedua tindakan tersebut adalah merupakan aktifitas yang saling bertolak belakang, walaupun didasarkan pada emosi manusia. Yang satu emosi positif dan yang satunya emosi negatif.
Itulah mungkin, mengapa HARDIK-nas di masa lalu sudah dirubah menjadi HARPENNAS (kata isteri saya loh). Tapi whatever the name-nya toh kurikulumnya sampai saat ini tidaklah pernah berubah secara mendasar. Bahwa dahulu kita merasakan betapa pintarnya teman kami si "Itu" untuk mendapat nilai A selalu di setiap mata kuliah dan ujian, sementara si "Ini" selalu ngos-ngosan untuk mendapat nilai C. Namun pada saatnya bekerja, ternyata si nilai C bisa jauh lebih sukses dari takaran karir profesional dibandingkan dengan si nilai A. Inilah fakta system pendidikan di Negara kita bahwa nilai A bukan berarti kehebatan tolok ukur sebuah kepahaman pengetahuan yang dipelajarinya untuk diaplikasikan di dunia kerja atau dunia nyata. Lha wong nyambungin dari bab satu ke bab dua aja bingung kok, apalagi di suruh memahami seluruh buku dan mata pelajaran untuk diambil sarinya dan kemudian di aplikasikan dalam dunia kerja, tentu repot (apalagi bagi saya yang hanya sebagai siswa yang begitulah apa adanya).
Pertanyaannya, apakah dengan mengganti nama dari HARDIK-Nas menjadi HARPENNAS, apakah kemudian sudah tercipta masyarakat yang madani ? (Lha bahkan Madani itu juga apa, ya nggak tahu yah ?)
Sudahkah, dana kompensasi BBM untuk pendidikan dasar gratis terealisir ?
Wallahualam...... kalo memang pun belum semoga ada alasan yang barokah untuk keterlambatan pemenuhan janji itu.
salam
h@di tea EUY!!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment