+ Seorang Bapak “Bekerja dimana mas ?”
- Kawan “Di Perusahaan XYZ Pak...”
+ Seorang Bapak “Perusahaan apaan itu Mas?”
- Kawan “perusahaan Asuransi Pak...”
+ Seorang Bapak “Sebagai apa disana ...”
- kawan “Di sales Pak....”
+ Seorang Bapak “Oh agen asuransi yah...”
Dan kemudian sang Bapak terlihat berusahaan menarik diri dalam perbincangan bersama kelompok kami (aku dan kawan-kawan) dalam suasana hangatnya makan malam di tempat nongkrong jajanan Taman Menteng beberapa waktu yang lalu. Melihat dari penampilan dan dandanannya sepertinya beliau paling tidak berada di kelas menegah agak atas.
Ssst.... Bisa jadi Sang Bapak takut di prospek oleh kawan saya ini atau mungkin dia memiliki pengalaman buruk dengan kawan-kawan sales atau agen sebuah perusahaan sebelumnya, atau mungkin pula memang beliau sama sekali tidak tertarik dengan dunia kami (dunia sales atau perdagangan).
No, Bukan ingin membahas siapa Bapak tersebut. Tapi... Ya, dalam kehidupan ini ada selalu bentuk pengelompokan atau tingkatan dan kelas-kelas. Tidak hanya dalam sebuah sistem pendidikan yang menerapkan jenjang kelas atau dalam sebuah organisasi baik formal maupun informal melalui sebuah tingkat jabatan dan lain-lain, bahkan dalam sebuah profesipun ada kelas-kelas dan kelompok-kelompok dari yang kelas dianggap profesi atau bidang pekerjaan prestisius seperti dokter, pengacara, Accounting, dll hingga profesi yang dianggap kelas dua atau kelas teri seperti transporter, orang gudang, Sales dan lainnya.
Mungkin kita pernah mendapat atau membaca informasi mengenai hasil survey berapa range gaji untuk posisi accounting supervisor dengan sales supervisor dan juga warehouse supervisor, dan ketiganya menunjukan angka range yang sangat berbeda bahkan walopun dalam grade level yang sama.
Biasanya setiap tahun survey semacam itu di publish oleh KelXX SerXXX sebagai sebuah perusahaan Human Capital terkemuka. Saya meyakini bahwa si Human Capital ini tidak menginginkan adanya pengelompokan persepsi atas dasar prestisius, elite atau teri dan kere. Namun sayangnya masyarakat seringkali memiliki persepsi pemikiran dengan caranya sendiri.
Sebut saja pekerjaan dibidang sales kadang menjadi pilihan terpaksa bagi sebagian besar para fresh graduate dari sekolah-sekolah tinggi negeri ini. Bahkan terkadang orang tua sekalipun pula tak menganjurkan untuk berprofesi menjadi sales. Teringat masa Management Trainee dahulu jarang sekali kawan-kawan kemudian menentukan pilihannya menjadi sales, sialnya kawan-kawan satu angkatan lebih banyak lulusannya dari jurusan atau fakultas teknik atau science. Nah tentunya hanya saya yang kemudian memilih menjadi sales.
Bahkan persepsi buruk mengenai menjadi salespun tak sebatas muncul dari persepsi diri atau keluarga saja tapi juga persepsi kedaerahan. Sebut saja ada beberapa pengalaman menarik ketika kami membikin iklan lowongan pekerjaan untuk seorang sales staff di daerah Batam atau Manado, dan hasilnya hanya itungan jari sebelah tangan aplikasi yang datang ke meja kantor kami. Bahkan di Manado gagal total! Namun ketika iklan tersebut kami ganti menjadi Mencari Marketing Staff, Wow ! hasilnya luar biasa dan banyak pelamar yang akhirnya kami terima dapat bekerja dengan baik dan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Pekerjaan atau jabatan hanyalah sebuah posisi sementara kita saat ini, bahwa dalam sebuah organisasi bisnis manapun tidak ada yang bisa menjalankan perannya sendiri. Semua function mulai dari production, finance, HR, sales, logistics dll semua memiliki peran masing-masing dalam berkontribusi untuk memberikan penghidupan dalam organisasi dan perusahaan. Kitalah pemegang jabatan, pengemban pekerjaan dan pelaksana tugas yang seharusnya membuat apa yang kita sandang dan jabat sementara ini dapat memberikan jaminan bagi kebergunabaikan bagi kehidupan.
Bahwa persepsi si sales atau orang gudang dll lebih rendah atau tak terhormat pekerjaannya dibandingkan dengan yang lain, itu semua adalah sebuah persepsi! Bahwa senyatanya, nilai-nilai baik tidaklah melihat dari siapa dia terucap tapi melainkan dari proses upaya pembangunan yang baik dan berkesinambungan dari individu-individu yang berkeinganan baik dan positif. Dan nilai-nilai kebaikan adalah sangat universal.
Pernahkah kita ingat bahwa dulu waktu kita memasuki bangku kuliah (masing-masing keadaan universtitas mungkin stereotipnya berbeda), kemudian stereotip bahwa fakultas ekonomi akuntansi itu lebih bergengsi dari fakultas sastra daerah misalnya, atau mungkin fakultas hukum lebih tidak elit dibandingkan dengan teknik. Tapi kemudian ketika masuk ke dunia kerja professional, kita menemukan bahwa ada kawan di sales (consumer goods) yang berbackground dari fakultas teknik atau sebaliknya lulusan ekonomi manajemen menjadi IT Manajer dan lain sebagainya.
+ Balon (Bakal Calon) Mertua “Kamu kuliahnya di jurusan apa Nak ?”
- Aku “Di Manjemen Fakultas Ekonomi Oom....”
+ Balon Mertua “Waduh maaf Nak ya, Helena itu bapak sudah siapkan untuk mendapatkan seorang insinyur...” dan aku hanya bisa tertunduk lesu.....
Nah begitulah dahulu kala aku tersandung keadaan oleh stigma bahwa yang teknik itu lebih hebat dari yang sosial dari seorang bakal calon mertua (balon = masih angan-angan). Semoga Helena (nama samaran) sekarang mejadi seorang yang sesuai dengan harapan orang tuanya.
Dan menurut hemat saya adalah apabila apa yang kita lakukan adalah sebuah kebaikan dan disertai niat baik dan ketulusan, janganlah takut, karena kebaikan dan ketulusan akan menyertaimu dan akan memberimu kehidupan!
Salam ti Si Hadi Tea EUY!